Di Dalam Kopi Ada Tai
Sucikah raga manusia? Yang mau tidak mau menyadari kebenaran bahwa ada eksistensi yang kotor dalam raga kita. Bagaimana kita sebagai makhluk menyadarri dua hal yang berbeda. Yang pertama, kita merasa bersih, wangi, dan penuh keindahan saat berada ditempat yang resmi dan terhormat. Yang kedua, kita merasa kotor, hina, dan merasa rendah saat kita melakukan kesalahan.
Semua itu ada dalam diri kita. Ahh aku mulai bingung. Jangan-jangan itu semua tidak ada. Hanya saja aku punya logika dan aksioma-aksioma di belakang semua anggapan ini. Ketika ada yang terkait, otak jadi meng-iya kan.
Jika aku berfikir tentang asal mula kopi dan siklus hidupnya, aku teringat lagu musisi Malang Iksan Skuter yang melantunkan lagu Kopi Tai Luwak. Kehidupan dan eksistensi biji kopi dari Sang Pencipta. Kopi dilempar ke atas bumi. Biji kopi tumbuh sangat tinggi. Ditemukan seorang petani. Dimakan luwak yang yang lapar sekali.
Ya Tuhan kenapa biji kopi yang suci harus di makan luwak. Dan tai luwak kami cuci. Bagaimanapun itu teramat nikmat ya Tuhan.
Apakah waktu itu ketidak sucian itu Engkau netralisir. Kau jadikan Biji Tai menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi. Maka ku saksikan. Itukah bukti sayang Mu pada penikmat kopi? Bagaimana aku bisa mengelak dari kehadiran Mu. Kenikmatan itu berwujud aturan hukum yang telah Kau titipkan pada kesadaran kami.
Ada pertanyaan yang mengganggu otak ku. Setiap detik aku mengamati diriku dari luar raga ku. Aku sengaja mengambil jarak dari diriku sendiri. Apakah aku adalah sesuatu yang suci? Ataukah setuatu yang kotor? Ataukah sesuatu yang memiliki presentase suci dan kotor tertentu? Atau bahkan aku adalah sesuatu yang netral?
Dititik ini aku memilih beranggapan netral. Dan jika aku suci, itu karena ada energy yang melekatkan kata suci itu kepada ku. Pun sebaliknya. Layaknya kopi tai luwak. Tai kok enak dan mahal. Atau. Enak tapi kok habis kena tai. Semua jadi tidak jelas. Aku tidak ingin lagi memusingkan manusia itu suci atau tidak. Karena hal itu berasal dari pikiranku sendiri.
Fahmi Bastian
Kediri, 09 Agustus 2021